Published By Bunda Iin under Cerita Rumah Tangga
<p>Your browser does not support iframes.</p>
Dia cinta pertamaku
Wisnu Pramata, pria berjas putih, sedang berdiri di
hadapanku, tampak menggairahkan dengan sikapnya yang santai. Senyumnya
lebar dan mengundang, matanya yang kecoklatan bersinar ramah. Rambutnya
yang berwarna hitam, sedikit acak-acakan seolah hanya disisir dengan
jari tangannya, tapi ia tetap seksi. Ia memakai celana coklat dan kemeja
polo biru di balik jas putihnya, tak mampu menyamarkan badannya yang
tegap dan berotot. Penampilan rapinya sekarang semakin mematangkan
ketampanan Wisnu.
Suaranya berat, tetapi ucapannya lembut dan
mendayu-dayu. Ada perhatian yang menghangatkan ketika sepasang mata
Wisnu menatap dirinya. Rasanya tubuh yang lemah ini semakin tak berdaya
melihatnya.
Walaupun Sophia berusaha menekan perasaannya,
seketika gejolak hasrat masa lalu kembali menguasai dirinya. Persetan!
Apa sih yang dimiliki pria ini sehingga mampu mengembalikan semua
kenangan itu, kembali membuat darahnya mengalir lebih cepat, membuat
kepalanya semakin terasa berputar-putar seperti ini?
“Sophi? Ini kamu kan?” suara tanya itu sekali lagi
terdengar. Sophia mengerjapkan matanya, tersadar kalau dia masih berdiri
di sisi tempat tidur menunggu jawabannya.
Tersenyum, tersenyumlah Sophia. Dan seulas
senyum tergambar di bibir Sophia, ia mengangguk lemah. Untunglah kepala
pusing ini bisa menyembunyikan perasaaan, ketertarikan secara fisik
pada pria yang bernama Wisnu.
“Trombositmu terlalu rendah untuk bisa pulang,
Soph. Kau harus dirawat di sini dulu, adakah orang yang bisa kami
hubungi?” pertanyaan itu kembali muncul. Sophia berusaha membuka
matanya, mengalihkan pandangan ke arah tas yang tergeletak di atas
kepalanya. Seorang suster mengerti maksudnya, ia membantu Sophia
mengambilnya. Sementara terlihat Wisnu berdiri di sisi suster itu.
“Sus, tolong… telepon… Mama saya… saja. Di
handphone… saya… tertulis… Mama,” bisik Sophia lemah. Ia kembali
memejamkan mata, satu-satunya cara mengurangi sakit di kepalanya dan
menyembunyikan perasaannya.
Dia ada di sini untuk merawatmu, Soph. Bukan
untuk bermimpi lagi. Kamu sakit, dan hatimu sedang lemah seperti dirimu
saat ini. Lupakan, kebetulan saja dia dokter di sini. Kebetulan saja
tadi kamu pingsan di kantor dan harus dibawa kemari. Dia hanya mantan
teman dari masa lalu, bukan siapa-siapa juga bukan pangeran yang pernah
kau impikan menjadi kekasih hatimu selamanya.
“Istirahatlah, Soph. Kami akan merawatmu. Kami akan
menghubungi Mamamu,” suara lembut Wisnu kembali membelai hati… tidak,
dia benar-benar sedang membelaiku. Tangannya menggenggam jemari Sophia,
terasa dingin menyejukkan kulit tubuhnya yang sedang panas. Sophia
menghela nafas, merasa tenang dan tertidur bersama mimpinya yang
kembali. Mimpi yang dulu menemaninya lama sekali dalam setiap tidurnya,
menyalakan keinginan yang tersimpan dalam sudut hati yang paling dalam.
Cinta pertama yang tak pernah pudar.
***
Dia gadis pertama yang menguasai hatiku
Sophia Arabella, gadis yang sedang terbaring di
salah satu tempat tidur Ruang Unit Gawat Darurat itu adalah sahabatnya
di masa lalu. Wajahnya masih secantik dulu walaupun kini terlihat pucat
dan lebih tirus. Dia memang terlihat lebih kurus. Namun sepasang mata
bening hitam besar itu masih seperti dulu, polos dan selalu
menyembunyikan kesedihan. Suaranya lemah, mungkin karena sakitnya. Wisnu
harus mengulang beberapa kali setiap kali berbicara. Gadis itu terlalu
sakit untuk menyadari kegugupan yang melanda Wisnu sejak tadi suster
menyodorkan rekam medik darurat Sophia.
Tanpa sadar, tangan Wisnu menggenggam jemari Sophia yang terasa panas. Maafkan
aku, Sophia. Seharusnya aku lebih memikirkan bagaimana bersikap seperti
layaknya dokter yang sedang merawatmu. Bukannya malah berkhayal yang
tidak-tidak seperti tadi.
“Keluarga nona Sophia sudah dihubungi, Dok. Mereka
akan segera datang,” ucap seorang perawat sambil memasukkan kembali
handphone milik Sophia ke dalam tasnya. “Dari pihak kantor juga masih
ada di sini. Dokter mau bicara sama mereka?”
Wisnu mengangguk, ia melepaskan jemari Sophia.
Melangkah keluar, mencari-cari dua teman kerja Sophia yang tadi
mengantarkannya. Seorang pria berambut ikal, berkacamata minus, tinggi
besar dan berwajah tampan. Yang lain, seorang perempuan yang mengenakan
jilbab warna pink, bertubuh sedikit lebih gemuk, sama tingginya dengan
Sophia dan wajahnya bulat telur bersih. Keduanya langsung berdiri dari
tempat duduk mereka saat melihat kedatangan Wisnu.
“Kemungkinan besar Sophia terkena Demam Berdarah
dan dia harus dirawat di sini. Tadi kami sudah menghubungi keluarganya…
mmm Ibunya. Jadi mohon dibantu proses administrasi kamarnya, supaya kami
bisa segera memindahkannya ke ruang perawatan,” kat Wisnu. Kedua teman
kerja Sophia mengangguk-angguk. Lalu Wisnu pamit kembali ke ruang UGD.
Wisnu melintasi tempat tidur Sophia saat kembali ke
ruang kerjanya. Tapi kepalanya seakan tak mampu menghapus godaan untuk
berpaling menatap Sophia. Dan ia melakukannya, sekali lagi ia tak bisa
mengelak, Sophia dan khayalan manisnya kembali memenuhi hati Wisnu.
Sekian kali, cinta itu kembali menyala di sudut hati Wisnu. Cinta
pertama yang tak pernah pudar.
***
Sophia selalu tertidur, bukan karena ia memang
tidur tapi karena Sophia memilih cara itu sebagai cara menghindari
kedatangan Wisnu yang rajin mengecek perkembangannya setiap hari. Sophia
sadar ia terlalu takut untuk membuka matanya, ia terlalu takut matanya
tak mampu menyembunyikan gejolak hatinya. Sophia takut bibirnya tak
mampu bertahan, ia takut bibirnya tak mampu lagi mendustai
keinginannya. Sophia terlalu takut untuk tetap bangun saat Wisnu hadir.
“Eh sudah bangun, nak? Tadi dokter Wisnu datang.
Katanya besok kamu sudah boleh pulang. Akhirnya setelah hampir seminggu.
Ini Mama mau telepon Papa biar diurus administrasinya. Kamu tiduran
saja, biar lebih sehat, “ ujar Mama saat melihat Sophia membuka mata.
Sophia tersenyum. Mama berjalan keluar sambil menenteng handphonenya.
Saluran telepon seluler memang kurang baik saat berada di ruangan, jadi
setiap kali menelepon Mama selalu keluar dan mencari ruangan yang lebih
terbuka.
Sophia mengangkat tubuhnya. Infus sudah dilepaskan
darinya, jadi ia bebas turun dari tempat tidurnya dan duduk di sofa. Ia
menatap keluar jendela kamar yang terletak di lantai teratas gedung
rumah sakit itu.
Akhirnya Sophia kembali pada kenyataan. Pada
hidupnya yang dulu, rutinitas yang sama yang mengikis mimpi-mimpinya
pelan-pelan. Sama seperti seminggu lalu, sebagai seorang sekretaris dari
perusahaan yang membawahi beberapa pabrik makanan dengan kesibukan yang
menyita setengah dari isi kepalanya, hampir seluruh waktunya dan dari
kehidupan sosialnya. Satu-satunya pria yang akan mengurusnya mungkin
cuma Tobian, lelaki yang sama yang mengantarnya saat ia pingsan ke rumah
sakit itu. Dan mungkin akhirnya, Sophia hanya bisa menyandarkan semua
pada Tobian. Pria yang tak pernah berhenti mengumbarkan cinta pada
Sophia sejak pertama kali mereka bertemu. Tobian mungkin bukan orang
yang dicintai Sophia, tapi ia memahami Sophia. Sophia bisa belajar
perlahan-lahan mencintai Tobian.
“Maaf, Bu… tadi… “ suara yang tiba-tiba memasuki
ruangan itu menghempaskan Sophia kembali ke bumi. Terlihat Wisnu berdiri
di depan pintu, ragu melangkah mendekat saat melihat Sophia duduk di
sofa menatapnya kaget, “Kau sudah bangun, Soph?” tanyanya.
Dan semua kembali lagi, Sophia menghembuskan
nafasnya yang terasa berat. Ia mengangguk pelan, menurunkan kedua
kakinya yang tadi ikut naik ke atas sofa. Ada semburat malu membayang di
pipi Sophia. Pasti dia tahu tadi aku berpura-pura tidur.
“Memang beda melihatmu kalau lagi tidak tidur.
Kelihatan lebih segar,” ujar Wisnu. Senyumnya kembali mengembang, dia
memilih bersandar setengah duduk di tepi tempat tidur. “Aku lupa
memberitahu Mamamu kalau besok aku sudah akan pergi. Kalau bisa semua
dibereskan hari ini saja,” sambung Wisnu.
Mata Sophia menatap Wisnu tajam. “Pergi? Ke mana?”
Wisnu menunduk sesaat sebelum kembali mendongak,
berusaha menyembunyikan galau hatinya. “Ke rumah Ibu, ke Semarang.
Pesawat pertama, besok pagi,” jawab Wisnu. Ia tampak begitu serius.
Sophia tak mampu menyembunyikan kekecewaannya. “Ya
udah, nanti aku kasih tahu Mama,” ucap Sophia, lalu kembali mengalihkan
pandang keluar jendela.
Bukannya bangkit berdiri dan meninggalkan Sophia.
Wisnu justru memilih tetap duduk di kamar itu. Ada yang mengganggu
hatinya, dulu dan sekarang. “Apa aku punya salah sama kamu, Soph?” tanya
Wisnu. Sophia kembali menoleh, menatap Wisnu.
Senyum yang muncul terlihat begitu dipaksakan.
“Tidak. Tidak ada, aku berterima kasih karena kamu merawatku dengan baik
selama seminggu ini. Memangnya aku kelihatan marah?” tanya Sophia
balik.
“Bukan sekarang, tapi dulu Sophia. Kau menghilang
tanpa jejak, tak pernah lagi datang dan aku tak menemukanmu di kampus
lagi, “ keluh Wisnu.
Sophia kembali tertawa kecil. “Benarkah? Bukannya
kamu yang tak pernah mencari tahu ke mana aku pergi?” Sophia berdiri,
membuka laci di meja samping tempat tidur. Ia mengambil handphone dan
kembali duduk. “Sekarang teleponlah aku.”
Wisnu menatap Sophia bingung. “Aku tak tahu nomor handphonemu, Soph.”
“Itulah kebodohanmu, Wis. Aku tak pernah mengganti
nomor teleponku satu kalipun. Aku tak pernah menggantinya karena aku
pikir suatu hari kamu akan meneleponku, bertanya di mana aku. Enam
tahun, Wisnu… enam tahun aku tak pernah terpikir untuk menggantinya
karena selalu berharap kamu menghubungiku satu kali saja, “ Sophia
berkata panjang lebar. Ia terduduk lunglai setelah meluapkan emosinya
yang telah lama tersembunyi. Tangannya menjatuhkan handphone ke atas
pangkuannya sebelum menutup wajahnya yang kini basah oleh airmata. Ia
tak sanggup lagi menyembunyikan amarah.
Wisnu termangu. Shock melihat emosi yang jelas
tertangkap di kata-kata tajam Sophia. Emosi yang membuat ia mulai merasa
bersalah. Emosi yang jelas mengungkapkan kekesalan hati yang terpendam
sekian lama. Dan semua karena ia terlalu takut. Terlalu takut untuk
melukai hati Sophia yang justru menorehkan luka yang dalam.
Wisnu berdiri. Ia duduk di sisi Sophia, mengulurkan
tangannya menyentuh bahu Sophia. “Maaf, Soph. Aku.. aku takut membuatmu
berharap. Dulu aku bukan siapa-siapa, aku hanya orang biasa. Kamu…
cahaya kamu terlalu terang buatku saat itu. Aku takut, mereka semua
menuduhku menggunakan cahayamu itu untuk menerangi hidupku yang gelap,”
ungkap Wisnu ragu.
Sophia menyentakkan kepalanya untuk menatap Wisnu
tak percaya. “Takut? Karena takut mendengar tuduhan orang, kamu tega
ninggalin aku? Kamu tega membiarkan aku berpikir kalau kamu sudah gak
peduli sama aku?” sergah Sophia kasar lalu ia berdiri dan kembali
berbaring. “Pergilah! Pergilah ke manapun kamu suka! Sekarang juga!
Selamanya!” Sophia berbalik dan memunggungi Wisnu. Bahunya berguncang,
menangis.
Wisnu berdiri, kembali mendekati tempat tidur. Rasa
sedih meliputi hatinya. “Aku minta maaf untuk semuanya, Soph. Aku
sungguh-sungguh. Aku akan mencarimu setelah aku menyelesaikan studiku.
Aku datang ke rumahmu, tapi semua sudah pindah. Aku tak terpikir
meneleponmu, itu saja,”
Tak ada jawaban. Hanya kebisuan memenuhi ruangan itu.
“Pergilah, Wis. Aku ingin tidur.” Terdengar gumam
lirih Sophia. Wisnu mengangguk. Dia memang harus pergi. Sophia masih
terlalu marah padanya. Tak mungkin menjelaskan kesalahpahaman selama
enam tahun dalam enam menit. Walaupun hatinya masih ingin terus bersama
Sophia. Biarlah nanti sepulangnya dari cuti ia akan kembali menghubungi
Sophia, pasti ada alamat Sophia terdaftar di data rekam medik rumah
sakit. Sophia perlu waktu untuk memaafkannya, seperti juga dirinya
sendiri.
Wisnu melangkah keluar, melangkah gontai. Sophia
menatapnya sedih, sebuah bros berkilat di tangannya. Hadiah ulang tahun
yang paling disayanginya. Hadiah terakhir dari Wisnu.
***
“Dok, ada kado dari pasien anda,” kata salah satu
suster yang bertemu dengan Wisnu di hari pertamanya setelah libur cuti
selama seminggu. Wisnu tersenyum. Paling-paling juga tanda terima kasih
dari pasien-pasiennya.
“Hehehe, dokter Wisnu masih lajang dan ganteng.
Wajar saja kalau jadi favoritnya pasien,” suara dokter Bambang menggoda
membuat Wisnu tertunduk malu. Dia segan menanggapi gurauan dokter
Bambang, seniornya yang dulu juga pernah menjadi salah satu
pembimbingnya saat masih menjadi co-ass.
“Ibu anda apa kabar, dok?”
Wisnu mengangguk. “Beliau sehat, dok. Ibu kirim
salam buat dokter,” jawab Wisnu. Dokter Bambang mengangguk-angguk,
sebelum mendahului Wisnu masuk ke dalam kantor. Wisnu menyusulnya.
Wisnu beranjak mendekati meja kerja. Tampak sebuah
kotak berwarna biru putih tergeletak di atas mejanya. Ia duduk dan
membukanya. Secarik kertas dan sebuah bros mungil berbentuk bintang
tersusun rapi di dalam kotak itu. Wisnu mengambil kertas itu dan mulai
membacanya.
Dokter Wisnu yang baik,
Saya ingin mengembalikan bros pemberian anda untuk putri saya
Terima kasih karena kemarin telah merawatnya dengan baik selama dia sakit.
Saya sungguh minta maaf karena tak sanggup menyampaikan rasa terima kasih ini sendiri
Sophia mengejar
anda, Dokter Wisnu. Ia ingin sekali menyampaikan kalau ia masih
mencintai anda. Saya begitu bodoh membiarkan dia pergi pagi itu dan
meninggalkan rumah sakit menuju bandara. Saya ikut mendengar percakapan
anda sehari sebelumnya dan saya juga yang meminta Sophia memaafkan anda.
Dia berniat menunjukkan bros mungil pemberian anda dulu sebagai bukti
kalau cintanya pada anda masih ada.
Taksi Sophia
mengalami kecelakaan di jalan tol. Saat saya bertemu dia, Sophia sudah
pergi.. Dokter. Bros ini masih berada dalam genggamannya.
Saya tak ingin
menyalahkan siapapun termasuk anda. Semua karena memang takdir Allah,
yang tergores di hidup saya dan Sophia. Sophia mungkin terlalu
tergesa-gesa hingga memaksa supir taksi melaju sedemikian kencang. Saya
hanya berharap anda mengenang Sophia, mengenang cintanya yang besar dan
dalam.
Terima kasih sekali lagi untuk segalanya.
Mama Sophia Arabella.
Tangan Wisnu
bergetar hebat, bahunya terkulai lemas. Sophiaku, Sophia yang begitu
cantik telah tiada. Kenapa Sophia harus mengejarnya?
Kesedihan menerpa hati Wisnu. Ia tak mampu lagi tegar dan berpura-pura
tegar. Wisnu menangis, menangis dalam penyesalan. Cinta pertama yang tak
pernah pudar itu telah pergi, menorehkan kenangan abadi, meninggalkan
penyesalan karena ia tak pernah berani berterus terang.
0 komentar:
Posting Komentar